Sabtu, 07 Januari 2012

Pemberdayaan Transportasi Publik

Sejalan dengan peningkatan pendapatan. Banyaknya kendaraan pribadi berarti kemacetan yang semakin banyak di jalan. Hal ini dikarenakan jumlah peningkatan kendaraan pribadi tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas jalan. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan umum, semakin efektif pula penggunaan jalan raya. Dengan kata lain, kendaraan umum merupakan salah satu pemecahan masalah yang dihadapi hampir semua kota besar di dunia: kemacetan.Sebuah kendaraan memerlukan bahan bakar. masyarakat, banyak orang yang
mampu membeli kendaraan pribadi. Banyak alasan untuk memiliki kendaraan pribadi, antara lain karena masalah privasi dan kenyamanan. Namun dibalik kebaikannya, kepemilikan kendaraan pribadi terlalu banyak juga menimbulkan banyak masalah.

Sebagai gantinya, kendaraan mengeluarkan daya dan juga zat-zat polusi.

Jika setiap orang menggunakan kendaraan pribadi, maka jumlah zat polusi di udara akan sebanding dengan jumlah manusia. Lain halnya jika banyak orang menggunakan kendaraan umum. Satu kendaraan umum mampu mengangkut lebih dari satu penumpang (sebuah rangkaian kereta api dapat mengangkut hingga 500 penumpang), yang berarti pengurangan polusi.

Buruknya layanan angkutan perkotaan. Secara ratarata di Indonesia jumlah pengguna angkutan umum mengalami penurunan persentasinya sebesar 1% per tahun. Jumlah kendaraan pribadi baik sepeda motor dan mobil yang meningkat karena kemudahan yang dinikmati penggunanya memberikan kontribusi terhadap kenaikan jumlah tersebut.

Meskipun kebutuhan bahan bakar yang senilai dengan 8 – 30% PDRB kota dan seringkali sebesar APBD kota-kota di Indonesia, pertumbuhan kendaraan tidak berkurang meskipun harga BBM mengalami kenaikan 44% di tahun 2005. Bahkan di bulan Maret 2005, penjualan kendaraan bermotor (khususnya sepeda motor) mencatat tingkat tertinggi.

PEMBERDAYAAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN

Biaya kemacetan yang direfleksikan oleh kebutuhan BBM perkotaan sangat tinggi. Sebagai contoh perkotaan Bandung Rp. 1,8 milyar/hari (studi ITB), Yogyakarta Rp. 1 milyar/hari (PUSTRAL, 2005), Jakarta Rp. 14,8 milyar/hari (SITRAMP, 2003). Penelitian PUSTRAL UGM (2004) memperkirakan di kota Jakarta dampak transportasi terhadap kesehatan adalah sebesar 2% dari PDRB, Batam 8% dari PDRB dan Yogyakarta 7-8% dari PDRB. Hasil studi ICLEI/PUSTRAL (2004) di sepuluh kota Indonesia menunjukkan bahwa transportasi di kota Bandung dan Denpasar adalah yang menghasilkan emisi kota. Transportasi kota Bandung menghasilkan 80% dari emisi kota sedangkan transportasi kota Denpasar menghasilkan 58% emisi kota.

Di Bali, pertumbuhan kendaraan bermotor adalah 8,5% dengan sepeda motor adalah 9,42%. Dari seluruh kendaraan bermotor, sepeda motor merupakan komponen terbesar yaitu 90,2%. Sementara itu penggunaan sepeda motor bagi pelajar di Denpasar adalah antara 48,63 – 87,1% sementara angkutan umum hanyalah antara 4,5 – 16,9% dari seluruh pelajar. DPD Organda di sisi lain menyampaikan bahwa kenaikan BBM menambah 400% biaya operasi dan dengan adanya bom Bali, jumlah penumpang mengalami penurunan – sementara terhadap hambatan kenaikan tarif. Kebijakan pembebasan bea masuk mesin bis masih belum terrealisasi. Kebijakan subsidi bagi 13 trayek untuk 1.048 armada belum terlaksana. Untuk mendorong angkutan umum di Denpasar, I Made Raid Ridartha menyampaikan internalisasi aspek sosial dan untuk itu ada 4 pilihan yaitu (1) defisit bagi operator, (2) pembelian aset oleh pemerintah, (3) pengoperasian angkutan umum masal dan mengurangi angkutan umum berukuran kecil, dan (4) kompensasi penggunaan BBM oleh sepeda motor dan mobil.

ORGANDA Bali menyampaikan bahwa perijinan angkutan pariwisata yang berada di tangan Dirjen Perhubungan Darat dirasa memberatkan pengusaha angkutan di Bali, karena dinilai tidak praktis mengingat angkutan pariwisata Bali sebagian besar beroperasi di dalam wilayah propinsi saja.

Direktur BSTP Drs. Suripno, MSTr., menyatakan bahwa terdapat konsepsual yaitu belum adanya kesamaan mengenai transportasi perkotaan. Transportasi umum perkotaan seharusnya menjadi instrumen kebijakan publik bukan semata-mata menyediakan kesempatan kerja bagi para operator. Disamping itu, juga belum ada dasar hukum yang secara khusus mengatur transportasi perkotaan sebagai kesatuan antar moda dan satu kawasan – bukan wilayah administratif. Struktur industri angkutan juga perlu ditata mengingat saat ini yang menjadi operator adalah sopir – bukan pengusaha. Hal ini menyebabkan pemerintah sulit melaksanakan subsidi. Sehingga perlu perubahan struktur industri transportasi perkotaan.

Dr. Harun al-Rasyid menyebutkan bahwa untuk saat ini, kebijakan yang paling realistis adalah pendekatan bertahap (incremental) yakni dengan memberdayakan dan memaksimalkan prasarana dan sarana yang telah ada. Selanjutnya perlahan-lahan menambah kapasitas melalui pilihan teknologi yang relatif murah dan terjangkau. Disamping itu, secara terus menerus melakukan uaha peningkatan kapasitas dan social marketing bagi pemberdayaan angkutan umum dalam jangka panjang.

Dr. Heru Sutomo menyatakan bahwa perlu ada upaya penyelamatan yang sistematis bagi angkutan umum perkotaan dengan merombak sistem perijinan dari quantity licensing menjadi quality licensing, pelaksanaan rekayasa financial dengan penjaminan pemerintah untuk resiko operasi dari operator, pemberian prioritas dengan perlindungan operasi, integrasi dengan pejalan kaki dan parkir.

Seminar MTI merekomendasikan bahwa angkutan umum perkotaan harus mendapatkan perhatian besar dari pemerintah pusat dan daerah. Perubahan harus dilakukan secara kontekstual dengan perubahan orientasi dari kepengusahaan angkutan menuju kepentingan masyarakat pengguna dan masyarakat yang lebih besar.

Secara konkrit, pemerintah harus mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. Perlu kebijakan kombinasi jenis-jenis angkutan umum perkotaan yang rasional dan secara finansial tidak membebani pembiayaan publik dan masyarakat di atas kemampuannya. Jenis-jenis Bus Rapid Transit (BRT) dengan manajemen merupakan salah satu pilihan yang perlu dipertimbangkan bersama-sama dengan peningkatan kemampuan manajemen keuangan subsidi dan sistem insentif bagi swasta dalam penyediaannya.

b. Menstimulasi daerah untuk memberikan komitmen pengambil kebijakan dan mengalokasikan dana melalui kerjasama pemerintah pusat-daerah membangun angkutan masal (contoh yang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat: Batam, Bandung, Bogor, Malang)

c. Pemerintah kota dapat belajar dari pengalaman kota-kota lain di Indonesia maupun kota lain di dunia, serta hasil penelitian perguruan tinggi. Pemerintah memiliki kewajiban mengakomodasi pergerakan masyarakat sedangkan operator melayani penumpang.

d. MTI dapat berperan sebagai mediator dalam proses mediasi multi stakeholder untuk mendorong angkutan umum perkotaan.

Sumber Referensi: MASYARAKAT TRANSPORTASI INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar